Sabtu, 31 Januari 2009

Maju Karena Gaya Kepemimpinan


oleh: Eko Satiya Hushada
(mantan wartawan Kaltim Post)
KALTIM POST, 7 JANUARI 2009

BISA bekerja di Grup Kaltim Post, bagi saya adalah anugerah yang selalu saya syukuri hingga kini. Kaltim Post menempah saya menjadi ‘manusia’. Saya punya tiga guru di Kaltim Post, yang salah satunya sudah menjadi Wakil Walikota Balikpapan, Pak Rizal Effendi. Dua guru lainnya, yakni Pak Zainal Muttaqien dan Pak Syafril Teha Noer. Menariknya, dari ketiga guru ini, saya mendapatkan tiga ilmu yang berbeda.
Dari Pak Zainal, saya mendapat ilmu bagaimana menjadi seorang pemimpin yang tangguh, bisa menyelesaikan persoalan seberat apapun dan mampu menjadi ‘pendobrak’ dari yang tidak ada menjadi ada serta kepemimpinan yang demokratis namun tegas.
Di setiap kesempatan bertemu, Pak Zainal selalu bercerita tentang hal-hal yang dia alami dan dia lakukan dalam menyelesaikan sejumlah masalah. Ibarat pelajaran, bab demi bab ditularkan secara berkesinambungan oleh Pak Zainal. Makasih, Pak Zainal!
Dari Pak Syafril, mengingat beliau adalah seniman, saya mendapat banyak pelajaran bagaimana memimpin dengan nurani yang berpihak pada akal sehat, tidak cengeng dan menjadi pemimpin yang dewasa. Sampai ada istilah pesantren Al jalaniah, diadopsi dari kata ‘pesantren di jalan’. Ini karena saya sering menyetiri Pak Syafril setiap kami rapat manajemen di Balikpapan, dan di sepanjang jalan, Pak Syafril selalu menceramahi saya untuk masalah apapun, bahkan untuk urusan mengendalikan emosi.
“Jangan kau marah kalau disalip orang. Mungkin ibunya sakit sehingga dia ngebut. Atau mungkin neneknya yang sakit. Jangan gampang kali kau terpancing!” kata Pak Syafril dengan gaya Sumateranya. Maklum, kami memang sama-sama berasal Sumatera. Saya Medan, Pak Syafril Padang, Sumatera Barat. Dia selalu bicara blak-blakan dengan saya. Alhamdulillah bisa menjadi murid Pak Syafril.
Terakhir, Pak Rizal Effendi. Jujur, saya dulu kerap tidak sepaham dengan Pak Rizal dalam urusan kebijakan redaksi. Maklum, saya ketika itu adalah anak muda yang emosinya masih meledak-ledak, yang kalau melihat persoalan dengan syahwat emosional. “Kalau pejabat itu korupsi, dia harus masuk penjara. Jangan separoh-separoh memberitakan!” kira-kira seperti inilah sikap saya dalam rapat-rapat redaksi.
Tulisan-tulisan saya pun kerap mengundang ketidaknyamanan di banyak pihak. Bahkan, kantor Kaltim Post Biro Samarinda yang ketika itu di Jln Cendrawasih (sekarang A Yani), sempat diserang oleh sekelompok pemuda tak dikenal yang mencari saya. Untung ketika itu saya sedang bertugas di Balikpapan. Jika tidak, habislah saya!
Pak Rizal, yang saat itu menjabat Pemimpin Redaksi, selalu mengingatkan saya agar menjadi wartawan yang arif dan bijak dalam melihat persoalan. Jangan melihat persoalan di permukaan saja. Kata Pak Rizal,”Anda harus banyak belajar, jangan melihat yang hitam itu hitam, yang putih itu putih. Kita ini berada di sebuah belantara yang harus dilalui dengan mata hati, arif, bijak dan taktis.”
Yang pasti, Pak Rizal orangnya sangat humanis --dan juga sangat humoris. Semarah-marahnya Pak Rizal, beliau tetap memomong kami, anak buahnya. Jika malamnya marah, paginya pasti nelpon sekedar bertanya apa liputan hari ini, bagaimana perkembangan kasus ini dan hal-hal lainnya.
Bagi saya, ‘pencucian dosa’ saya dengan Pak Rizal adalah momen hari raya. Maaf lahir dan bathin, yang dilanjutkan dengan hidangan soto Banjar khas Pak Rizal. Maafkan saya Pak Rizal, saya jadi murid yang nakal ketika itu!
Kata syukur selalu ada di hati saya. Saya yang mundur dari Kaltim Post tahun 2004, merasa tidak bisa seperti ini jika tidak pernah bekerja di Kaltim Post.
Kaltim Post sukses membangun kerajaan bisnisnya, karena sukses membangun manusianya lewat pola kepemimpinannya. Pak Zainal, Pak Syafril, Pak Rizal dan para pemimpin lainnya memberi keleluasaan kepada awaknya untuk melakukan apapun yang dinilai dapat memberi hal positif bagi perusahaan. Kami bebas berkereasi dan berpendapat.
Dalam urusan membuat koran baru pun, saya diberi keleluasaan untuk berkarya, menentukan nasibnya. Tak ada arahan detil, koran apa yang mau dibuat. Intinya, buat koran dan harus maju.
Saat Samarinda Pos mau berdiri, saya dipanggil Pak Zainal ke Balikpapan. Saya ketika itu masih wartawan di biro Samarinda. Di ruang kerjanya, Pak Zainal berkata,”Ko, Anda buat Koran di Samarinda ya!”
Saya Tanya,”Koran apa, Pak?”
“Terserah Anda, Koran apa yang laku di sana. Siapkan segala sesuatunya. Aku nggak mau tahu, pokoknya harus jalan,” kata Pak Zainal.
Saya pun bingung mau buat Koran apa, hingga akhirnya terbitlah Samarinda Post dengan format berita politik. Maklum, saya ketika itu lama di liputan politik dan suhu politik sedang hangat-hangatnya berkenaann dengan tuntutan Soeharto mundur.
Tapi ternyata saya saya salah hitung, Samarinda tidak cukup menerima Koran politik, yang kemudian mengharuskan kami memutar otak dan Samarinda Pos menjadi Koran kriminal atau metro. Hasilnya, alhamdulillah cukup baik hingga sekarang.
Begitu juga terhadap ide-ide perubahan lainnya, yang selalu diterima oleh manajemen. Alhamdulillah, selama bekerja di Kaltim Post, saya mendapat kesempatan menempati sejumlah pos, mulai dari redaksi, pemasaran hingga iklan. Selama menempati pos-pos ini, kebebasan berkarya selalu diberikan. Ketika menghasilkan sebuah karya yang berharga, manajemen memberi penghargaan yang setimpal, bahkan lebih menurut saya. Mulai dari gaji yang tinggi plus bonus dan deviden tahunan hingga fasilitas lainnya seperti kendaraan dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. “Penghargaan datangnya belakangan. Perusahaan tidak pernah tutup mata terhadap prestasi karyawannya,” kata Pak Zainal suatu ketika.
Nikmat betul bekerja di Kaltim Post. Saya selalu kangen dengan suasananya. Bang Silaban yang selalu membawa cerita lucu dan ilmu baru –kami juluki ia si kamus berjalan--, Pak Syafril yang tiba-tiba nyanyi dengan suara kencang “endeskay..endeskay…” sebuah lagu andalan Pak Syafril menjelang deadline. Ibu Ludia Sampe yang juga selalu membawa cerita kegemasannya terhadap persoalan tertentu. “de..de..de..de..de.. Gemas sekali saya dengan dia itu. Banyak bohongnya,” ujar ibu Ludia menceritakan seseorang. Ah, kangen aku! Selamat Ulang Tahun, Kaltim Post! (penulis kini menjadi Direktur PT Esa Communication, konsultan merek & public relation di Samarinda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar