Selasa, 20 Desember 2011

Perawatan Tubuh ala Turki, Dimandikan seperti Bayi


Menikmati Eropa, dari Roma hingga Istanbul (3-Habis)
Kaltim Post, Sabtu, 19 November 2011

Spa dan pijat ala Indonesia bagi kita sudah pasti tak asing lagi. Tapi bagaimana pula dengan spa dan pijat tradisional ala Turki? Komentar saya; amazing! Sebuah pengalaman menarik yang agak sulit melupakannya, sebuah proses perawatan tubuh milik kesultanan Turki yang sudah dimulai sejak 1584. Berikut cerita terakhir Eko Satiya Hushada, mantan wartawan Kaltim Post, yang pekan lalu berkunjung ke Eropa termasuk Istanbul, Turki.

TURKI menjadi negara terakhir yang saya kunjungi bersama keluarga, tepatnya di Kota Istanbul. Turki merupakan negara yang menjadi perbatasan antara Asia dan Eropa, sehingga Turki dikenal sebagai negara transkontinental. Ibu kota Turki berada di Kota Ankara. Tapi Istanbul menjadi kota terpenting dan terbesar di negara dengan sejuta keunikan lokal peninggalan zaman kesultanan.

Berada di kota ini bagaikan sedang hidup di masa kesultanan karena pemerintah dan masyarakatnya mempertahankan banyak bangunan bergaya timur tengah kuno. Wisatawan mancanegara tumpek blek di kota ini. Bahkan untuk membeli karcis masuk ke museum saja harus melalui antrean panjang.

Setelah keliling Eropa selama 15 hari, badan mulai terasa pegal sehingga muncul ide untuk melakukan relaksasi. Istri saya, Dian Rossalina kemudian mengajak saya untuk melakukan pijat tradisional ala Turki, yang mereka sebut hamam. Ternyata istri saya sudah merencanakan akan ke hamam jika tiba di Istanbul. Sebelum itu, kami keliling dulu ke Blue Mosque, Hagia Sophia, Grand Bazaar hingga ke pasar rempah sekitar 1 kilometer dari Grand Bazaar. Belanja bumbu lokal menjadi salah satu hobi saya jika bepergian ke negara manapun.

Setelah kaki mulai letih, kami menuju Cemberlitas Hamami, tempat hamam yang lokasinya di jantung kota Istanbul, berdekatan dengan Grand Bazaar, pusat perbelanjaan tradisional yang di dalamnya terdapat sekitar empat ribuan kios. Mau belanja cenderamata, di sinilah tempatnya.

Dari depan, gedung Cemberlitas Hamam kelihatannya kecil, hanya pintu dua daun dengan sepuluh anak tangga menurun. Menurut perempuan petugas penerima tamu, saat pertama kali dibangun tahun 1584 oleh arsitek Mimar Sinan yang juga merancang Suleymaniye Mosque, Istanbul, gedung Cemberlitas Hamami ini sama tingginya dengan jalan raya. Namun kini berada di bawah karena jalan raya yang terus mengalami penimbunan dan perbaikan.

Cemberlitas adalah nama usahanya, sementara hamam adalah sebutan untuk kegiatan pemijatan tradisional ala Turki. Mulai dibangun dan beroperasi sejak tahun 1584 atas perintah istri Sultan Selim II yang juga ibu Sultan Murat III. Cemberlitas Hamami merupakan tempat hamam tertua di Istanbul, yang pendiriannya bertujuan sebagai sumber pendapatan bagi pembiayaan sejumlah sarana dan prasarana kesultanan ketika itu. Namun disebutkan juga, Cemberlitas Hamami ini menjadi tempat berkumpulnya istri sultan bersama teman-temannya untuk melakukan perawatan tubuh sekaligus bercerita soal banyak hal.

Saat masih berada di ruang tamu untuk memilih jenis paket hamam, masih belum terasa bahwa gedung tersebut dibangun 427 tahun yang lalu. Suasananya lebih kelihatan seperti losmen tradisional, dengan kamar-kamar kecil tampak di lantai 2 serta tumpukan handuk dan kain. Tampak juga sejumlah lelaki setengah tua duduk sambil bercerita. Di sisi lain ada bar tradisional tempat pembuatan minum, serta di sisi kanan gedung ruang penjualan kelengkapan hamam yang bisa dibawa pulang.

“Come on sir, come on…” ajak seorang pria setengah tua tadi. Ia menunjuk sebuah ruang di lantai 2 sambil menyerahkan kain bergaris-garis warna merah. Di ruangan itu, saya melepas semua pakaian dan hanya menggunakan selembar kain bergaris merah tadi. Ada juga sepasang sandal kayu sebagai pengganti sepatu. Semua barang ditinggal di kamar. Kamar saya kunci dan memasangkan anak kuncinya di tangan karena menggunakan karet gelang.

Kembali saya di arahkan turun menuju lantai 1 tadi, namun berjalan ke arah belakang. Di sini lah kemudian saya agak terperangah, menyaksikan sebuah ruangan kuno nan hangat dengan kubah besar di atasnya, sementara di bawah kubah terdapat lantai marmer yang cukup luas, seperti layaknya dipan raksasa. Banyak lelaki tanpa busana -- hanya mengenakan kain menutupi bagian vital, berbaring di atas marmer yang ternyata hangat itu. Saya jadi teringat wajan penjual martabak di Samarinda, karena rata-rata tubuh lelaki yang ada di atasnya sudah mulai memerah seperti daging setengah matang.

Di sudut lain, ada lelaki sedang digosok dengan busa yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Ada pula yang sedang dimandikan dengan cara menyiram menggunakan gayung yang terbuat dari kuningan. Semua dikerjakan oleh laki-laki setengah tua, yang juga hanya mengenakan kain untuk menutupi bawah pinggang hingga atas dengkul. Betul-betul suasana yang unik.

Antara lelaki dan perempuan lokasinya dipisah. Bahkan menurut cerita istri saya, di tempat perempuan malah tidak mengenakan penutup dada, hanya selembar kain seperti yang digunakan pria. “Ya kelihatan gitu dadanya. Lucu, unik, tapi uenak banget,” ujar istri saya usai hamam, lantas tertawa.

Sambil menunggu giliran “dikerjai”, saya baring di atas marmer yang hangat tadi. Saya pandangi kubah di atasnya, tampak sinar matahari masuk melalui lubang-lubang kecil yang memang bagian dari fungsi bangunan. Tak sampai 10 menit, saya dipanggil oleh seorang lelaki setengah tua berkumis khas Turki. Dia ambil kain gosok dan sabun yang memang saya bawa saat mendaftar di depan tadi.

Setelah memberi aba-aba agar saya tidur telentang, tiba-tiba lelaki tadi menyiram seluruh tubuh saya dengan air hangat. Setelah disiram dan disikat dengan kain agak kasar serta sabun batangan, saya diminta untuk telungkup. Semua badan saya digosok hingga badan penuh dengan busa. Disiram lagi dan giliran kepala dicuci sambil dipijat dengan posisi duduk dekat bak kecil. Persis seperti bapak memandikan anaknya. Kalau tak salah hitung, ada sekitar 15 menit saya disikat, dibolak-balik, digerujukin hingga badan bersih kembali dari busa.

“Ok, finish, Sir. Change your cloth and massage (baik pak, selesai. Silakan ganti kain Anda dan pijat,” ujarnya sambil mengarahkan saya ke sebuah ruangan lain. Di ruang ganti kain, lagi-lagi badan saya dielapin oleh seorang lelaki tua, bahkan memasangkan kain kering ke pinggang saya.

Setelah itu saya masuk ke ruang pijat yang ternyata sudah ditunggu oleh lelaki muda dengan badan yang besar. “Alamak, pasti kuat betul pijatnya ini,” kata saya dalam hati. Ternyata perkiraan saya ada benarnya. Tangannya sungguh kuat tapi tetap enak saja.

Sekitar setengah jam dipijat, saya kembali mandi air hangat di kamar mandi –kali ini mandi sendiri, dan kembali mengenakan baju yang semula saya pakai. Di ruang depan, disuguhi minuman hangat sesuai pilihan kita. Enaknya minta ampun. Berat badan saya rasanya hilang separoh. Tak lama, istri saya keluar dari ruangan perempuan. Bedanya layanan perempuan dengan lelaki, perempuan ada kolam jacuccy sebelum dipijat, walau harganya sama, yakni 86 Lira atau sekitar Rp 600 ribu/orang.

Menurut beberapa sumber yang saya himpun menyebutkan, hamam mengadopsi gaya perawatan tubuh ala Romawi kuno. Yang pasti, lenyap sudah rasa lelah keliling Eropa hampir setengah bulan. Setelah segar kembali, saya dan istri menyiapkan diri untuk makan malam sambil menyaksikan belly dance, tari perut khas Turki yang seksi. (far)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar