Selasa, 20 Desember 2011

Prancis Klaim France Coffee, Sama dengan Espresso-nya Italia


Menikmati Eropa, dari Roma hingga Istanbul (2)

Kaltim Post, Jum'at, 18 November 2011

Tulisan kedua ini masih tentang kopi. Maklum, kopi sangat mewarnai kehidupan orang Eropa khususnya Italia, Prancis, Belanda, dan Turki yang berbatasan dengan Asia. Hampir di setiap sudut kota gampang ditemui kedai kopi. Bahkan Prancis mengklaim punya gaya minum kopi sendiri dan menyebutnya sebagai France Coffee (kopi Perancis). Berikut tulisan kedua Eko Satiya Hushada, mantan wartawan Kaltim Post, yang menyambangi Eropa pertengahan Oktober lalu.

PERJALANAN ke Eropa bersama keluarga dimulai dari Italia, Vatikan, Swiss, Jerman, Belanda, Belgia, Prancis, dan berakhir di Turki. Beberapa kota pun dilalui. Sebut saja antara lain Roma, Milan, Venice, Frankfurt, Koln hingga Amsterdam. Selama perjalanan, saya memang sering nongkrong dan mengamati coffee shop atau kedai kopi. Mulai dari menikmati cita rasa kopi di setiap negara, menangkap iklim bisnis warung kopi, proses pembuatan, sampai mengamati pola layanan dan tata saji. Maklum, salah satu bisnis saya adalah warung kopi waralaba. Sehingga harus banyak memahami soal minuman ini.

Selain kedai kopi, hampir di setiap supermarket di Eropa terdapat mesin kopi self service, atau mesin kopi otomatis yang akan mengeluarkan kopi dengan memasukkan uang logam terlebih dahulu. Rata-rata harga per gelasnya (cup) bervariasi antara 1,5 EUR dan 2 EUR. Berbeda jika ngopinya di coffee shop, harganya bisa mencapai 5 EUR per gelas atau Rp 62 ribu. Bahkan 9 EUR di Caffee Florian, Venice, Italia. Harga ini pun masih berbeda jika kita duduk di luar atau bagian teras kedai kopi, terlebih di Paris. Harganya jadi lebih mahal ketimbang duduk di dalam.

“Orang Prancis suka mejeng duduk di teras luar coffee shop. Oleh pengusaha coffee shop kemudian harganya jadi lebih mahal kalau kita duduk di luar,” kata Peter Njo, seorang tour leader dari Jakarta saat kami berada di Paris.

Pemerintah setempat memang memperbolehkan sebagian trotoarnya dipakai untuk kedai kopi dan menyewakannya yang dibayar per bulan. Jadi wajar saja harga makan-minum jadi lebih mahal ketimbang duduk di dalam. Padahal jika musim dingin duduk di teras luar, bisa dibayangkan seperti apa situasinya. Belum lagi orang yang ramai hilir mudik di trotoar.

Dalam soal ‘iklim’ berkedai kopi, harus diakui Paris lebih semarak ketimbang Italia yang selama ini identik dengan negara penggemar kopi. Paris lebih ramai, baik dalam soal tampilan maupun pengunjungnya. Berbeda dengan kebanyakan kedai kopi di sejumlah kota yang saya singgahi di Italia. Bahkan Prancis punya kopi sendiri. Jika di Italia ada espresso, latte, nespresso cappuccino, cappuccino hingga cafe moka, di Paris ada cafe au lait, cafe creme, cafe decaffeine hingga cafe noisette.

Untuk urusan kopi, pelayan kedai kopi di Paris punya guyonan yang cenderung mengolok. Ketika itu saya pesan espresso, sang pelayan menjawab bahwa kedai kopinya tak menjual espresso, tetapi French Coffee. Kemudian saya pesan Americano (kopi ala amerika), tiba-tiba dengan mimik agak serius ia berkata, ”Apakah kamu serius pesan Americano? French coffee jauh lebih enak. Bagi kami orang Prancis, Americano itu hanya untuk air cucian kain kotor.”

Maklum, Americano memang kopi cair yang disajikan di gelas besar. Sementara French Coffee adalah kopi kental di gelas kecil layaknya espresso-nya orang Itali, lengkap dengan krim yang kental berwarna kuning emas. Délicieux!

Lantas, mengapa kopi begitu disukai orang Eropa? Ini tak lepas dari sejarahnya. Dari berbagai sumber yang dihimpun, kopi pertama kali ditemukan suku Galla di Afrika Timursekitar 3000 tahun (1000 SM). Seiring dengan meluasnya perdagangan pedagang Arab Saudi hingga ke Afrika, kopi pun menjadi komoditas dijual hingga ke Turki bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Orang Turki menyebutnya Kahve. Kedai kopi yang pertama kali dibuka di Turki, bernama Kiva Hantahun 1475.

Biji kopi dibawa masuk pertama kali ke Eropasecara resmi pada tahun 1615oleh seorang saudagar Venice,Italia. Ia mendapatkan pasokan biji kopi dari orang Turki, sekaligus perdagangan tembakau antara Turki-Venice. Pada masa itu kebutuhan akan biji kopi terus meningkat. Pasokan dari Turki tidak mencukupi untuk memenuhi pasar Eropa, sehingga negara-negara di Eropa kemudian mulai membudidayakannya.

Belandaadalah salah satu negara Eropa pertama yang berhasil membudidayakannya pada 1616.Kemudian pada 1690, biji kopi dibawa ke Pulau Jawa, Indonesia untuk dikembangkan secara besar-besaran. Pada saat itu Indonesiamasih merupakan negara jajahan Kolonial Belanda.

Melihat minat masyarakat Venice yang begitu besar terhadap kopi, baru kemudian tahun 1640 lahir kedai kopi pertama di Venice, Italia. Sedangkan di Paris, kedai kopi kali pertama dibuka tahun 1689 bernama Café de Procope. Hingga kini Anda masih bisa menikmati Café de Procope yang beroperasi di 13 rue de l'Ancienne Comédie Paris.

Ada satu lagi coffee shop terkenal di Paris bernama Fouquet’s. Coffee shop yang berlokasi di kawasan paling mahal Champ Elleese ini menurut Peter, merupakan coffee shop tempat nongkrongnya para selebritis. Lokasinya bersebelahan dengan House of Louis Vuitton (LV) dan berseberangan dengan Lido, tempat pertunjukan kabaret eksklusif di Paris.

Sayang, saya tak sempat nongkrong di Fouquet’s karena padatnya kegiatan selama di Paris. Yang pasti, saya sudah menikmati rasanya kopi berbagai negara di Eropa. Saya tetap jatuh cinta pada kopi Italia dan agak menghindari kopi Turki. Rasanya kurang pas di Lidah saya. Ini soal selera saja! (far)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar