Selasa, 20 Desember 2011

Venice Kota Romantis, Seruput Coffee Latte 1720


Menikmati Eropa, dari Roma hingga Istambul (1)
Kamis, 17 November 2011

Perjalanan ke Eropa tentu sudah dilakukan banyak orang dengan rute yang terkadang hampir sama. Catatan perjalanannya pun dapat dipastikan tak jauh berbeda. Eko Satiya Hushada, mantan wartawan Kaltim Post yang mengakhiri perjalanan ke Eropa pekan lalu, mencoba berbagi cerita keunikan Benua Biru itu. Mulai dari nikmatnya suasana warung kopi di Venice, Italia yang berdiri sejak 1720, hingga spa dan pijat unik ala Turki.


JIKA bepergian ke mana pun, baik dalam maupun luar negeri, saya dan istri memang lebih suka menikmati keunikan-keunikan lokal. Bukannya belanja luxurious productsatau hunting cenderamata. Mendapatkan experience keunikan lokal lebih nikmat rasanya dibanding belanja.

Ketika merancang perjalanan ke Eropa yang dimulai dari Italia pertengahan Oktober hingga awal November 2011, Venice atau Venezia menjadi salah satu tujuan utama kami. Bahkan, tempat yang wajib didatangi di kota Italia Utara itu, yakni Caffé Florian, warung kopi yang dibangun sejak tahun 1720.

Bagi saya, Venice menjadi tujuan utama yang harus dikunjungi, karena kota yang berpenduduk sekitar 272.000 jiwa ini dikenal dengan seribu keunikan dan sejarahnya. Mulai dari sebutan kota paling romantis di Eropa selain Paris, hingga keindahan arsitek sejak periode Renaisans akhir abad 13. Kota ini juga punya peran penting terhadap perkembangan sejarah musik opera hingga kota kelahiran musisi terkenal, Antonio Vivaldi.

Venicejuga identik dengan air. Ini karena kotanya terdiri dari 117 pulau kecil yang terhubungkan dengan 150 jembatan dan 400-an kanal. Karena itu, Venice juga disebut sebagai kota kanal. Letaknya tepat di bibir Laut Adriatik di timur laut Italia.

Untuk menuju ke Venice, kami yang mengendarai bus melintasi jembatan panjang Ponte della Liberta yang menghubungkan Venice dan Mestre. Kami turun di Piazalle Roma atau Tronchetto dan berjalan kaki menuju dermaga penyeberangan Bacino Stazione Maritima. Dengan mengendarai taksi air, perjalanan membelah Grand Canal menuju Piazza San Marco, Venicedapat ditempuh sekitar 30 menit.

Di Kota Venice tak ada mobil atau kendaraan bermotor. Sarana transportasinya hanyalah perahu bermotor atau berjalan kaki menelusuri jalan-jalan setapak. Karena itu juga di Venice terkenal sampan dayung tradisional yang disebut gondola. Uniknya, sambil menelusuri kanal-kanal sempit menggunakan gondola, si pengayuh sampan tak jarang bernyanyi dan sesekali bersiul irama lagu-lagu tradisional Italia. Romantic abizz dah!

Saat di Venice, cuaca ketika itu cerah. Walau matahari lumayan menyilaukan mata, hawa terasa dingin karena memang mulai memasuki musim dingin, sehingga jaket pun tak pernah lepas dari badan. Tampak banyak burung dara berkeliaran di Piazza San Marco, lokasi favorit di Venice. Anak-anak saya , Aqil dan Akmal puas bermain burung dara dengan memberinya potongan roti.

Mata saya terus menerus menuju Caffe Florian yang satu lokasi dengan tempat kerumunan burung. Ada live music yang dimainkan oleh pemusik lokal saat itu. Permainan alat musik yang sungguh apik, terdiri dari piano, flute, biola, dan accordion. Tak jarang pengunjung berdansa di depan kafe atau sekadar melihat dari dekat.

Tak lama kemudian kami memutuskan untuk duduk di Caffe Florian, tak jauh dari panggung musik karena memang ingin menikmati suasananya. Di dalam gedung masih ada ruangan yang tertata bergaya Italia klasik. Dan ternyata, menikmati suasana dengan mendengar musik klasik harus dibayar dengan harga 6 EUR per lagunya. Di nota pembayaran tertera Supplemento Musica 2 x 6,00. Artinya, selama duduk di situ, kami menikmati 2 lagu dan harus membayar EUR 12 atau Rp 148.800. Sebenarnya kalau saya hitung, mungkin ada 5 lagu yang saya nikmati. Mungkin diskon 3 lagu sehingga hanya membayar 2 lagu. Entahlah…

Pelayanannya sangat ramah dan terus menerus melayani sejak kami datang. Untuk makan dan minum, saya pesan dua Pizza Florian, satu Club Sandwich Tacchino, 1 Coffee Latte dan dua hot tea English breakfast. Semua pesanan ini plus 2 musik tadi, saya harus membayar sebesar EUR 81,50 atau setara Rp 1.010.600. Ini belum termasuk uang tip yang sukarela saya tinggalkan di meja sebesar EUR 5. Cukup mahal memang. Ini diakui oleh beberapa pengunjung yang saya temui di beberapa web di internet, walau tak sedikit juga yang mengatakan harga itu tak mahal karena kita mendapatkan suasana yang menarik, yang tak bisa kita dapatkan di tempat lain. Saya sependapat dengan komentar terakhir. Romantisme, keunikan, sejarah dan keramahan yang tak bisa didapat di tempat lain, telah saya dapatkan di Caffe Florian.

Kafe ini sudah dibuka sejak 29 Desember 1720. Dari berbagai sumber yang saya himpun menyebutkan, sebenarnya saat pertama kali dibuka, kafe ini bernama Caffe Alla Venezia Trionfante (Café Triumphant Venice). Tapi kemudian lebih dikenal dengan nama Caffe Florian karena nama pemiliknya Floriano Francesconi. Kafe ini kemudian cukup dikenal banyak kalangan dan menjadi tempat favorit sejumlah nama-nama besar seperti dramawan asal Venice Carlo Osvaldo Goldoni, Johann Wolfgang von Goethe (penulis Jerman, seniman bergambar, ahli biologi, fisikawan teoretis ), Giacomo Girolamo Casanova de Seingalt (penulis asal Venice), Lord Byron atau George Gordon Byron (penyair Inggris) Marcel Proust (pengarang cerita roman Prancis, pengkritik), dan Charles Dickens (pengarang cerita roman Inggris).

Caffe Florian juga menjadi tempat kali pertama surat Kabar Gazzetta Veneta dapat dibeli. Kafe ini menjadi tempat editor Gazzetta Veneta bekerja termasuk Gasparo Gozzi , tokoh sejarah Italia yang dikenal sebagai penyair dan pengkritik yang juga wartawan Gazzetta Veneta. Selain itu, Caffé Florian menjadi tempat bertemunya banyak kalangan dengan berbagai urusan, mulai dari urusan seni hingga politik.

Salah satu sejarah Italia bahkan dunia yang ‘dilahirkan’ di Caffe Florian adalah The Venice Biennale dalam pertemuan di Senate Room of caffe, salah satu dari 4 ruangan di Caffe Florian. The Venice Biennale adalah pameran kesenian kontemporer utama yang dilaksanakan dua tahun sekali di Venice, termasuk Venice Film Festival dan International Festival of Contemporary Dance di dalamnya .

Pada awal abad ke 19, Valentino Francesconi, cucu laki-laki Floriano Francesconi, mengambil alih bisnis itu dan membuat Caffe Florian semakin menarik. Lukisan asli para tokoh besar asal Venice (Venetians) pun menghiasi dinding kafe. Sebut saja beberapa di antaranya Goldoni, Marco Polo, Titian, Francesco Morosini, Pietro Orseolo, Andrea Palladio, Benedetto Marcello, Paolo Sarpi, Vettor Pisani dan Enrico Dandolo. Lukisan-lukisan ini masih bisa disaksikan hingga saat ini, termasuk lukisan perempuan dari yang berbusana hingga tanpa busana.

Selain lukisan, dinding Caffe Florian banyak dihiasi cermin-cermin besar berbingkai klasik. Ada juga ruangan yang khusus menempatkan lukisan Italia Modern. Tak sedikit lukisan-lukisan yang dipajang dipinjamkan ke sejumlah museum seluruh dunia, termasuk Centre Pompidour and Guggenheim di New York.

Kalau melihat sejarah panjang Caffe Florian di Venice, rasanya tak sayang jika harus mengeluarkan uang 81,50 EUR. Toh kita sudah punya cerita, pernah nongkrong di kafe yang jadi tempat favoritnya Carlo Osvaldo Goldoni, Marcel Proust, dan nama-nama besar lainnya. Belum lagi layanan yang ia tawarkan; romantis! (far)

Prancis Klaim France Coffee, Sama dengan Espresso-nya Italia


Menikmati Eropa, dari Roma hingga Istanbul (2)

Kaltim Post, Jum'at, 18 November 2011

Tulisan kedua ini masih tentang kopi. Maklum, kopi sangat mewarnai kehidupan orang Eropa khususnya Italia, Prancis, Belanda, dan Turki yang berbatasan dengan Asia. Hampir di setiap sudut kota gampang ditemui kedai kopi. Bahkan Prancis mengklaim punya gaya minum kopi sendiri dan menyebutnya sebagai France Coffee (kopi Perancis). Berikut tulisan kedua Eko Satiya Hushada, mantan wartawan Kaltim Post, yang menyambangi Eropa pertengahan Oktober lalu.

PERJALANAN ke Eropa bersama keluarga dimulai dari Italia, Vatikan, Swiss, Jerman, Belanda, Belgia, Prancis, dan berakhir di Turki. Beberapa kota pun dilalui. Sebut saja antara lain Roma, Milan, Venice, Frankfurt, Koln hingga Amsterdam. Selama perjalanan, saya memang sering nongkrong dan mengamati coffee shop atau kedai kopi. Mulai dari menikmati cita rasa kopi di setiap negara, menangkap iklim bisnis warung kopi, proses pembuatan, sampai mengamati pola layanan dan tata saji. Maklum, salah satu bisnis saya adalah warung kopi waralaba. Sehingga harus banyak memahami soal minuman ini.

Selain kedai kopi, hampir di setiap supermarket di Eropa terdapat mesin kopi self service, atau mesin kopi otomatis yang akan mengeluarkan kopi dengan memasukkan uang logam terlebih dahulu. Rata-rata harga per gelasnya (cup) bervariasi antara 1,5 EUR dan 2 EUR. Berbeda jika ngopinya di coffee shop, harganya bisa mencapai 5 EUR per gelas atau Rp 62 ribu. Bahkan 9 EUR di Caffee Florian, Venice, Italia. Harga ini pun masih berbeda jika kita duduk di luar atau bagian teras kedai kopi, terlebih di Paris. Harganya jadi lebih mahal ketimbang duduk di dalam.

“Orang Prancis suka mejeng duduk di teras luar coffee shop. Oleh pengusaha coffee shop kemudian harganya jadi lebih mahal kalau kita duduk di luar,” kata Peter Njo, seorang tour leader dari Jakarta saat kami berada di Paris.

Pemerintah setempat memang memperbolehkan sebagian trotoarnya dipakai untuk kedai kopi dan menyewakannya yang dibayar per bulan. Jadi wajar saja harga makan-minum jadi lebih mahal ketimbang duduk di dalam. Padahal jika musim dingin duduk di teras luar, bisa dibayangkan seperti apa situasinya. Belum lagi orang yang ramai hilir mudik di trotoar.

Dalam soal ‘iklim’ berkedai kopi, harus diakui Paris lebih semarak ketimbang Italia yang selama ini identik dengan negara penggemar kopi. Paris lebih ramai, baik dalam soal tampilan maupun pengunjungnya. Berbeda dengan kebanyakan kedai kopi di sejumlah kota yang saya singgahi di Italia. Bahkan Prancis punya kopi sendiri. Jika di Italia ada espresso, latte, nespresso cappuccino, cappuccino hingga cafe moka, di Paris ada cafe au lait, cafe creme, cafe decaffeine hingga cafe noisette.

Untuk urusan kopi, pelayan kedai kopi di Paris punya guyonan yang cenderung mengolok. Ketika itu saya pesan espresso, sang pelayan menjawab bahwa kedai kopinya tak menjual espresso, tetapi French Coffee. Kemudian saya pesan Americano (kopi ala amerika), tiba-tiba dengan mimik agak serius ia berkata, ”Apakah kamu serius pesan Americano? French coffee jauh lebih enak. Bagi kami orang Prancis, Americano itu hanya untuk air cucian kain kotor.”

Maklum, Americano memang kopi cair yang disajikan di gelas besar. Sementara French Coffee adalah kopi kental di gelas kecil layaknya espresso-nya orang Itali, lengkap dengan krim yang kental berwarna kuning emas. Délicieux!

Lantas, mengapa kopi begitu disukai orang Eropa? Ini tak lepas dari sejarahnya. Dari berbagai sumber yang dihimpun, kopi pertama kali ditemukan suku Galla di Afrika Timursekitar 3000 tahun (1000 SM). Seiring dengan meluasnya perdagangan pedagang Arab Saudi hingga ke Afrika, kopi pun menjadi komoditas dijual hingga ke Turki bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Orang Turki menyebutnya Kahve. Kedai kopi yang pertama kali dibuka di Turki, bernama Kiva Hantahun 1475.

Biji kopi dibawa masuk pertama kali ke Eropasecara resmi pada tahun 1615oleh seorang saudagar Venice,Italia. Ia mendapatkan pasokan biji kopi dari orang Turki, sekaligus perdagangan tembakau antara Turki-Venice. Pada masa itu kebutuhan akan biji kopi terus meningkat. Pasokan dari Turki tidak mencukupi untuk memenuhi pasar Eropa, sehingga negara-negara di Eropa kemudian mulai membudidayakannya.

Belandaadalah salah satu negara Eropa pertama yang berhasil membudidayakannya pada 1616.Kemudian pada 1690, biji kopi dibawa ke Pulau Jawa, Indonesia untuk dikembangkan secara besar-besaran. Pada saat itu Indonesiamasih merupakan negara jajahan Kolonial Belanda.

Melihat minat masyarakat Venice yang begitu besar terhadap kopi, baru kemudian tahun 1640 lahir kedai kopi pertama di Venice, Italia. Sedangkan di Paris, kedai kopi kali pertama dibuka tahun 1689 bernama Café de Procope. Hingga kini Anda masih bisa menikmati Café de Procope yang beroperasi di 13 rue de l'Ancienne Comédie Paris.

Ada satu lagi coffee shop terkenal di Paris bernama Fouquet’s. Coffee shop yang berlokasi di kawasan paling mahal Champ Elleese ini menurut Peter, merupakan coffee shop tempat nongkrongnya para selebritis. Lokasinya bersebelahan dengan House of Louis Vuitton (LV) dan berseberangan dengan Lido, tempat pertunjukan kabaret eksklusif di Paris.

Sayang, saya tak sempat nongkrong di Fouquet’s karena padatnya kegiatan selama di Paris. Yang pasti, saya sudah menikmati rasanya kopi berbagai negara di Eropa. Saya tetap jatuh cinta pada kopi Italia dan agak menghindari kopi Turki. Rasanya kurang pas di Lidah saya. Ini soal selera saja! (far)

Perawatan Tubuh ala Turki, Dimandikan seperti Bayi


Menikmati Eropa, dari Roma hingga Istanbul (3-Habis)
Kaltim Post, Sabtu, 19 November 2011

Spa dan pijat ala Indonesia bagi kita sudah pasti tak asing lagi. Tapi bagaimana pula dengan spa dan pijat tradisional ala Turki? Komentar saya; amazing! Sebuah pengalaman menarik yang agak sulit melupakannya, sebuah proses perawatan tubuh milik kesultanan Turki yang sudah dimulai sejak 1584. Berikut cerita terakhir Eko Satiya Hushada, mantan wartawan Kaltim Post, yang pekan lalu berkunjung ke Eropa termasuk Istanbul, Turki.

TURKI menjadi negara terakhir yang saya kunjungi bersama keluarga, tepatnya di Kota Istanbul. Turki merupakan negara yang menjadi perbatasan antara Asia dan Eropa, sehingga Turki dikenal sebagai negara transkontinental. Ibu kota Turki berada di Kota Ankara. Tapi Istanbul menjadi kota terpenting dan terbesar di negara dengan sejuta keunikan lokal peninggalan zaman kesultanan.

Berada di kota ini bagaikan sedang hidup di masa kesultanan karena pemerintah dan masyarakatnya mempertahankan banyak bangunan bergaya timur tengah kuno. Wisatawan mancanegara tumpek blek di kota ini. Bahkan untuk membeli karcis masuk ke museum saja harus melalui antrean panjang.

Setelah keliling Eropa selama 15 hari, badan mulai terasa pegal sehingga muncul ide untuk melakukan relaksasi. Istri saya, Dian Rossalina kemudian mengajak saya untuk melakukan pijat tradisional ala Turki, yang mereka sebut hamam. Ternyata istri saya sudah merencanakan akan ke hamam jika tiba di Istanbul. Sebelum itu, kami keliling dulu ke Blue Mosque, Hagia Sophia, Grand Bazaar hingga ke pasar rempah sekitar 1 kilometer dari Grand Bazaar. Belanja bumbu lokal menjadi salah satu hobi saya jika bepergian ke negara manapun.

Setelah kaki mulai letih, kami menuju Cemberlitas Hamami, tempat hamam yang lokasinya di jantung kota Istanbul, berdekatan dengan Grand Bazaar, pusat perbelanjaan tradisional yang di dalamnya terdapat sekitar empat ribuan kios. Mau belanja cenderamata, di sinilah tempatnya.

Dari depan, gedung Cemberlitas Hamam kelihatannya kecil, hanya pintu dua daun dengan sepuluh anak tangga menurun. Menurut perempuan petugas penerima tamu, saat pertama kali dibangun tahun 1584 oleh arsitek Mimar Sinan yang juga merancang Suleymaniye Mosque, Istanbul, gedung Cemberlitas Hamami ini sama tingginya dengan jalan raya. Namun kini berada di bawah karena jalan raya yang terus mengalami penimbunan dan perbaikan.

Cemberlitas adalah nama usahanya, sementara hamam adalah sebutan untuk kegiatan pemijatan tradisional ala Turki. Mulai dibangun dan beroperasi sejak tahun 1584 atas perintah istri Sultan Selim II yang juga ibu Sultan Murat III. Cemberlitas Hamami merupakan tempat hamam tertua di Istanbul, yang pendiriannya bertujuan sebagai sumber pendapatan bagi pembiayaan sejumlah sarana dan prasarana kesultanan ketika itu. Namun disebutkan juga, Cemberlitas Hamami ini menjadi tempat berkumpulnya istri sultan bersama teman-temannya untuk melakukan perawatan tubuh sekaligus bercerita soal banyak hal.

Saat masih berada di ruang tamu untuk memilih jenis paket hamam, masih belum terasa bahwa gedung tersebut dibangun 427 tahun yang lalu. Suasananya lebih kelihatan seperti losmen tradisional, dengan kamar-kamar kecil tampak di lantai 2 serta tumpukan handuk dan kain. Tampak juga sejumlah lelaki setengah tua duduk sambil bercerita. Di sisi lain ada bar tradisional tempat pembuatan minum, serta di sisi kanan gedung ruang penjualan kelengkapan hamam yang bisa dibawa pulang.

“Come on sir, come on…” ajak seorang pria setengah tua tadi. Ia menunjuk sebuah ruang di lantai 2 sambil menyerahkan kain bergaris-garis warna merah. Di ruangan itu, saya melepas semua pakaian dan hanya menggunakan selembar kain bergaris merah tadi. Ada juga sepasang sandal kayu sebagai pengganti sepatu. Semua barang ditinggal di kamar. Kamar saya kunci dan memasangkan anak kuncinya di tangan karena menggunakan karet gelang.

Kembali saya di arahkan turun menuju lantai 1 tadi, namun berjalan ke arah belakang. Di sini lah kemudian saya agak terperangah, menyaksikan sebuah ruangan kuno nan hangat dengan kubah besar di atasnya, sementara di bawah kubah terdapat lantai marmer yang cukup luas, seperti layaknya dipan raksasa. Banyak lelaki tanpa busana -- hanya mengenakan kain menutupi bagian vital, berbaring di atas marmer yang ternyata hangat itu. Saya jadi teringat wajan penjual martabak di Samarinda, karena rata-rata tubuh lelaki yang ada di atasnya sudah mulai memerah seperti daging setengah matang.

Di sudut lain, ada lelaki sedang digosok dengan busa yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Ada pula yang sedang dimandikan dengan cara menyiram menggunakan gayung yang terbuat dari kuningan. Semua dikerjakan oleh laki-laki setengah tua, yang juga hanya mengenakan kain untuk menutupi bawah pinggang hingga atas dengkul. Betul-betul suasana yang unik.

Antara lelaki dan perempuan lokasinya dipisah. Bahkan menurut cerita istri saya, di tempat perempuan malah tidak mengenakan penutup dada, hanya selembar kain seperti yang digunakan pria. “Ya kelihatan gitu dadanya. Lucu, unik, tapi uenak banget,” ujar istri saya usai hamam, lantas tertawa.

Sambil menunggu giliran “dikerjai”, saya baring di atas marmer yang hangat tadi. Saya pandangi kubah di atasnya, tampak sinar matahari masuk melalui lubang-lubang kecil yang memang bagian dari fungsi bangunan. Tak sampai 10 menit, saya dipanggil oleh seorang lelaki setengah tua berkumis khas Turki. Dia ambil kain gosok dan sabun yang memang saya bawa saat mendaftar di depan tadi.

Setelah memberi aba-aba agar saya tidur telentang, tiba-tiba lelaki tadi menyiram seluruh tubuh saya dengan air hangat. Setelah disiram dan disikat dengan kain agak kasar serta sabun batangan, saya diminta untuk telungkup. Semua badan saya digosok hingga badan penuh dengan busa. Disiram lagi dan giliran kepala dicuci sambil dipijat dengan posisi duduk dekat bak kecil. Persis seperti bapak memandikan anaknya. Kalau tak salah hitung, ada sekitar 15 menit saya disikat, dibolak-balik, digerujukin hingga badan bersih kembali dari busa.

“Ok, finish, Sir. Change your cloth and massage (baik pak, selesai. Silakan ganti kain Anda dan pijat,” ujarnya sambil mengarahkan saya ke sebuah ruangan lain. Di ruang ganti kain, lagi-lagi badan saya dielapin oleh seorang lelaki tua, bahkan memasangkan kain kering ke pinggang saya.

Setelah itu saya masuk ke ruang pijat yang ternyata sudah ditunggu oleh lelaki muda dengan badan yang besar. “Alamak, pasti kuat betul pijatnya ini,” kata saya dalam hati. Ternyata perkiraan saya ada benarnya. Tangannya sungguh kuat tapi tetap enak saja.

Sekitar setengah jam dipijat, saya kembali mandi air hangat di kamar mandi –kali ini mandi sendiri, dan kembali mengenakan baju yang semula saya pakai. Di ruang depan, disuguhi minuman hangat sesuai pilihan kita. Enaknya minta ampun. Berat badan saya rasanya hilang separoh. Tak lama, istri saya keluar dari ruangan perempuan. Bedanya layanan perempuan dengan lelaki, perempuan ada kolam jacuccy sebelum dipijat, walau harganya sama, yakni 86 Lira atau sekitar Rp 600 ribu/orang.

Menurut beberapa sumber yang saya himpun menyebutkan, hamam mengadopsi gaya perawatan tubuh ala Romawi kuno. Yang pasti, lenyap sudah rasa lelah keliling Eropa hampir setengah bulan. Setelah segar kembali, saya dan istri menyiapkan diri untuk makan malam sambil menyaksikan belly dance, tari perut khas Turki yang seksi. (far)