Sabtu, 31 Januari 2009

Amplang vs Cemilan Cik Gu

Oleh:
Eko Satiya Hushada
KALTIM POST, Kamis, 27 April 2006

COBA lihat deretan rak barang di supermarket maupun mini market di daerah ini, agak sulit menemukan Amplang, makanan khas Samarinda. Akan lebih mudah menemukan cemilan sejenis yang diproduksi negara tetangga, Malaysia. Jangan buru-buru menyalahkan pemilik supermarket. Karena ini hukum pasar. Tak ada permintaan konsumen, maka Amplang pun tidak mendapat tempat di rak supermarket.
Amplang baru dapat ditemukan di sejumlah warung maupun toko yang memang khusus menjual barang dan makanan khas daerah. Kalau pun kita datang membelinya, maka selalu muncul pertanyaan dari si penjual,”Untuk oleh-oleh ya, Pak?”
Positioning Amplang tampaknya memang sebagai oleh-oleh dari Kota Samarinda. Dan produsen Amplang cukup puas dengan positioning yang terbangun secara tradisional itu. Padahal, Amplang juga layak sebagai cemilan nonton TV, nonton di bioskop atau teman saat santai. Saya sendiri kerap menjadikan Amplang sebagai cemilan saat keluar kota melalui jalan darat. Enak kok!
Lantas, mengapa pasar Amplang tidak cukup kuat di daerah, dibanding cemilan negeri Cik gu (Pak guru-- bahasa Malaysia)? Padahal, cita rasa amplang cukup bersaing dengan cemilan negeri Cik gu yang relatif lebih asin. Pada konsumen pun, ada kebanggaan yang lebih ketika ngemil produk negeri Cik gu, ketimbang Amplang yang buatan lokal.
Kalau pertanyaan ini dialamatkan ke saya, maka saya selalu mengatakan bahwa produsen Amplang tidak cukup serius menggarap pasarnya, tidak didukung oleh manajemen modren, yang masih mengandalkan sistem bisnis turun temurun. Produsen Amplang mengenyampingkan persoalan upaya memenangkan pasar. Tak pernah bicara soal package (kemasan) dengan desain menarik, tak pernah bicara strategi komunikasi pemasaran untuk menanam brand di benak konsumen dan hal lain yang menunjang pemasaran produknya.
Pengusaha Amplang terlalu berserah diri pada positioning tradisional, yang terbentuk cukup lama bahwa Amplang makanan khas Samarinda yang cocok sebagai oleh-oleh. Maka, konsumennya adalah kaum pendatang yang pasarnya tak cukup besar.
Amplang hanyalah sebagai contoh sebuah produk daerah yang tak terjamah oleh ilmu marketing modern. Sebenarnya masih banyak produk daerah yang senasib dengan Amplang. Sebut saja terasi Bontang. Memang, ada keseriusan yang lebih pada Pemkot Bontang untuk memasarkan produk lokalnya, yakni dengan cara membuka counter makanan khas Bontang di Bandara Sepinggan Balikpapan. Bahkan terakhir Pemkot Bontang mencetak prestasi yang tercatat di Museum Rekor Indonesia (Muri), lewat pembuatan terasi raksasa saat pesta laut beberapa waktu lalu.
Sebuah brand activity (aktivitas brand) yang patut dihargai. Namun prestasi Muri belum cukup untuk membangun sebuah brand. Masih perlu upaya yang lebih serius lagi dalam menggarap pasar. Jika pasar digarap lebih serius, bisa saja suatu ketika nanti, terasi Bontang cukup dikenal senusantara. Belum enak sebuah makanan, kalau belum pakai terasi Bontang.
Saatnya pengusaha lokal (baca: Kaltim) memahami arti sebuah pasar yang harus digarap maksimal, untuk dapat bersaing dengan produk luar. Sudah saatnya pengusaha lokal bicara brand, untuk memenangkan persaingan tersebut. Karena dalam marketing, persaingan yang sebenarnya adalah merebut benak konsumen, lewat strategi komunikasi pemasaran yang tepat sasaran. Bisa saja suatu saat lahir sebuah tagline; Amplang, Gaul Gitu Loh!. (penulis adalah direktur utama Esa Communications, praktisi komunikasi pemasaran, tinggal di Samarinda. Email: ekosahus@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar